• makalah 1
  • makalah 2
  • makalah 3
  • makalah 4
  • artikel 1
  • artikel 2
  • artikel 3
  • ppt 1
  • ppt 2
  • Sabtu, 23 November 2013

    BUDAYA PENGUBURAN PADA MASA NEOLITHIKUM di NUSANTARA

    gambar-gambar berikut ini bisa anda tambahkan kedalam makalah terutama dalam
    makalah BUDAYA PENGUBURAN PADA MASA NEOLITHIKUM di NUSANTARA


    buah keranda batu berisi kerangka manusia


     Kubur dolmen (reti dalam bahasa lokal) yang terletak di Sumba Timur NTT

      Dolmen sebuah kubur di Sumba Timur, NTT



     kubur dolmen dalam perkampungan dari sumba timur 




     BUDAYA PENGUBURAN PADA MASA NEOLITHIKUM di NUSANTARA

    DAFTAR ISI

    DAFTAR ISI........................................................................................................ i
    DAFTAR ISI........................................................................................................ ii

    BAB I      PENDAHULUAN
    A.  Latar Belakang……………………………………………………..1
    B.  Rumusan Masalah.............................................................................2
    C.  Tujuan Penulisan…………………………………………………...2

    BAB II                  PEMBAHSAN
    A.  Memahami Konsep Munculnya Penguburan Pada Masa Neolithik.3
    B.  Hubungan Penguburan dengan System Organisasi Social pada
    masa Neolitikum. ............................................................................ 6
    C.  Konsep Penguburan dengan Kesenian Neolithik……………………..7
    .
    BAB III    PENUTUP
    A.  Kesimpulan………………………………………………………...11
    B.  Kritik dan Saran……………………………………………………11
    C.  Glosarium…………………………………………………………..12

    DAFTAR RUJUKAN…………………………………………………………....13

    BAB I
    PENDAHULUAN

    A.  Latar belakang
          Banyak dan beraneka ragam budaya di Nusantara ini. Mulai dari zaman nenek moyang hingga masa kini. Salah satu budaya pada zaman nenek moyang kita adalah penguburan. Penguburan merupakan salah satu kegiatan manusia dalam rangka memindahkan mayat dari lingkungan orang yang masih hidup, dan pelaksanaannya dilakukan secara berpola sesuai dengan pranata kelakuan tertentu, diakui serta bersumber pada masyarakat pendukungnya.
          Sejak munculnya zaman logam, bukan berarti telah berakhirnya zaman batu. Pada zaman logam orang masih terus menggunakan batu sebagai bahan. Memang Megalithikum itu akarnya terdapat dalam zaman Neolithikum, teteapi baru berkembang betul dalam zaman logam. Kenyataanya di tempat-tempat penemuan hasil megalithikum (lebih-lebih dalam kuburan –kuburan zaman itu) banyak sekali didapatkan manik-manik dan alat-alat dari perunggu, bahkan adakalanya pula alat-alat dari perunggu, bahkan alat-alat dari besi. Maka dari itu meghalitikum Indonesia biasa dimasukkan kebudayaan Dongson sebagai slah satu dari cabangnya (Soekmono,1973:72).
           Jadi pada zaman nenek moyang kita, mereka sudah mengenal system penguburan salah satunya pada masa Neolithikum tadi. Maka dari itulah dalam makalah ini akan kita bahas tentang budaya penguburan pada masa Neolithikum yang didalamnya memuat beberapa bagian dari 7 unsur kebudayaan, yang berhubungan dengan budaya penguburan. Misalnya seperti religi, ilmu pengetahuan, organisasi sosial dan kesenian dalam budaya penguburan tersebut.
    Dikalangan mahasisiwa sejarah, zaman Neolitikhum bukanlah hal yang asing. Namun kalau budaya penguburan pada masa Neolithikum ini, tentu hal yang cukup menarik karena sampai saat ini jarang ditemui mahasiswa yang membuat makalah budaya penguburan pada masa Neolithikum. Untuk itu, dalam tugas mata kuliah kali ini kami tertarik untuk memfokuskan pembahasan pada “budaya penguburan pada masa neolitikhum”
     
    A.  Rumusan Masalah
                Dari uraian latar belakang di atas ditarik beberapa rumusan masalah, sebgai berikut:
    1.      Bagaimana konsep munclnya penguburan pada masa neolithik?
    2.      Bagaimana hubungan penguburan denga system organisasi social pada masa neolithik?
    3.      Bagaimana konsep penguburan dengan kesenian neolithik?

    B.  Tujuan
               Tujuan dari penulisan makalah ini yaitu:
    1.      Memahami konsep munclnya penguburan pada masa neolithik.
    2.      Memahamami hubungan penguburan denga system organisasi social pada masa neolithik.
    3.      Memahami konsep penguburan dengan kesenian neolithik.
    BAB II
    PEMBAHASAN

    A.  Memahami Konsep Munculnya Penguburan Pada Masa Neolithik.
    1.    Pengetahuan

                Seperti yang kita ketahui, terdapat tujuh unsur kebudayaan yang telah melekat pada diri masyarakat Indonesia sejak zaman sebelum masyarakat mengenal tulisan. Tujuh unsur kebudayaan tersebut diantaranya adalah bahasa, kesenian, kepercayaan, pengetahuan, system kemasyarakatan, teknologi dan peralatan, serta organisasi sosial. Jika dihubungkan dengan konsep penguburan dalam masyarakat Neolitikum dan Megalitikum, yang paling berkaitan erat adalah unsure pengetahuan. Karena setiap manusia pada dasarnya diciptakan dengan memiliki akal pikiran yang nantinya akan berkembang menjadi pengetahuan seiring dengan manusia tersebut menjalani kehidupannya.
                Pada zaman tersebut, tradisi penguburan dilakukan dengan berbagai macam cara. Soejono (2008:449) menjelaskan bahwa “penguburan masih dilakukan dengan langsung maupun tidak langsung, menggunakan wadah atau tanpa wadah”. Artinya manusia yang telah mati tersebut ada yang dikuburkan langsung ke dalam tanah, ada yang dikuburkan dengan menggunakan peti kubur dari batu maupun kayu, adapula yang diletakkan saja dalam posisi membujur atau terlipat (Soejono,2008:449).
                Pengetahuan manusia selalu bertambah seiring dengan berjalannya waktu. Manusia yang selalu memiliki rasa ingin tahu dan ingin selalu mengembangkan wawasannya.
      
    2.    Dari segi unsur religi
                Selain dari unsur pengetahuannya, unsur religi juga turut menjadi pengaruh munculnya konsep penguburan pada masa Neolithik. Masyarakat bercocok tanam mempunyai ciri khas yang sesuai perkembangan penemuan-penemuan barunya, di masa ini timbul anggapan bahwa tanah merupakan unsur penting bagi kehidupan dan memeanfaatkan kegunaan tanah. Salah satu segi yang menonjol dalam masyarakat ini adalah sikap terhadap alam kehidupan sesudah mati. Kepercayaan bahwa roh nenek moyang tidak lenyap melainkan dianggap mempunyai kehidupan di alamnya tersendiri sesudah orang meninggal (Soejono, 2008:247).
                Upacara yang paling mencolok adalah upacara penguburan, terutama bagi mereka yag dianggap penting atau terkemuka oleh masyarakat dan penguburan itu dilakukan dengan cara langsung maupun tidak langsung di tempat yang sering dianggap sebagai tempat roh nenek moyang. Soejono (2008:247) menyatakan bahwa “si mati biasanya akan dikubure bersamaan dengan perhiasan dan periuk yang dikubur sebagai bekal agar perjalanan si mati ke dunia arwah kehidupan selajutnya terjamin, jika tempat tersebut terlalu jauh atau sukar dicapai, dan si mati dikuburkan di suatu tempat dengan meletakkan  mayat yang di arahkan menghadap ke suatu tempat yang dimaksud”.
                Tujuan dari itu adalah agar si mati tidak tersesat dalam perjalanannya menuju tempat roh nenek moyang. Kematian dipandang tidak mengubah kedudukan social seseorang. Biasanya hanya orang-orang tertentu yang dianggap terkemuka oleh masyarakat yang bias mencapai alam khusus di alam baka, akan tetapi jasa dan amal kebaikan untuk mendapat tempat khusus di dunia akhirat dapat diperoleh dengan mengadakan pesta-pesta tertentu yang mencapai pada puncaknya dengan mendirikan bangunan batu besar. Batu besar ini menjadi symbol perlindungan bagi manusia-manusia yang berbudi baik.
                Menempatkan si mati pada batu-batu besar, seperti bilik batu, sarkofagus baik itu dilukis maupun di ukir dengan berbagai lambing kehidupan dan kematian, itu dianggap merupakan sebagai tindakan yang saling menguntungkan bagi si mati dan orang-orang yang ditinggalakan (Soejono, 2008:248).
                Soejono (2998:248) juga mengatakan bahwa “gagasan hidup di akhirat berisi: keistimewaan yang belum atau yang sudah didapatkan di dunia fana, hanya akan dapat dicapai di dunia akhirat berdasarkan perbuatan-perbuatan dan amal yang dilakukan  selam hidup manusia, ditambah dengan besarnya upacara kematian yang pernah diselenggarakan”.
                Bangunan besar banyak sekali terdapat di kepulauan Indonesia, dan bermacam-macam bentuknya, ada yang berdiri sendiri dan ada yang berkelompok. Dan sudah dijelaskan di atas bahwa maksud dari bangunan besar ini tidak luput dari latar belakang pemujaan pada nenek moyang serta pengharapan akan kesejahteraan bagi si mati. Dan banguna yang paling tua itu mungkin digunsksn sebagai penguburandengan bentuk yang beraneka ragam, dapat berupa dolmen, peti kubur batu, bilik batu, sarkofagus, kalamba atau bejana batu, waruga, batu kandang, dan tamu gelang.

    B.  Hubungan penguburan dengan system organisasi social pada masa neolithik.

                Data kubur dari suatu system social secara keseluruhan dapat dianggap mewakili suatu kelompok social tertentu. Adapun unsur darii suatu situs kubur antara lain: bentuk dan sususunan kubur, kerangka manusia, posisi, arah hadap kerangka anusia, benda bekal kubur, usia, jenis kelamin, dan lain-lain (Aziz, 1986:57).
                Miasalnya seorang kepala suku, biasanya dia dikubur di bawah punden berundak dan di atasnya punden berundak tadi didirikan menhir. Untuk arah hadap, menghadap kea rah gunung, dan untuk bekal kubur misalnya Soejono (2008:258) mengatakan “di Sumatra Selatan di Tegurwangi ditemukan peti kubur yang didalamnya ditemukan beberapa manik-manik berwarna kiuning adan sebuah mata tombak dari besi yang sudah berkarat, yang pernah dibuka oleh Baterburg”.
                Masyarakat memilih dari salah satu anggotanya yang kuat lahir dan batinnya, mempunyai keunggulan lebih di atas sesame anggotanya, untuk menjadi pemimpin dan pelindungnya, orang inilah yang disebut sebagai kepala suku. Soekmono (1973:76) mengatakan sebagai berikut.
    Dalam antropologi budaya ada istilah potlatch, yang artinya adalah kebiasaan memberi sebanyak mungkin. Pemberian ini dilakukan timbal balik, sehingga seakan-akan ada saingan untuk saling memberi. Kenyataan bahwa memberi itu emang lebih utaa daripada menerima, di dalam kebiasaan itu diartikan bahwa si pemberi itu lebih tinggi kedudukannya daripada si penerima. Kebalikannyapun tidak dapat diabaikan, yaitu bahwa orang yang tinggi kedudukannya harus menunjukkan kelebihannya, harus memberi sebanyak mungkin kepada mereka yang lebih rendah.


     Seorang kepala suku itu harus menunjukkan kelebihannya di atas masyarakatnya.hal itu ditunjukkan mealui pemberian yang berlebih-lebih. Dan sebagai tanda jasanya dengan bantuan rakyatnya berhak mendirikan sebebuah menhir. Inilah makna menhir pada mulanya. Setelah kepala suku tadi meninggal, menhir tadi yang merupakan lambing dari jasanya menjadi lambing dari dirinya. Kenangan dan penghargaan jasa tadi beralih menjadi pemujaan terhadap dirinya yang tetap dianggap sebagai pelindung yang kemudian diperingati dengan upacara-upacra tyertentu. Jika untuk rohnya didirikan sebuah menhir makan untuk raganya dibangunkan berbagai macam kuburan: keranda, kubur batu, pandhusa (sarkofagus jika pada masa itu),dan kecuali jasa yang dibawa ke akhirat, maka dalam kubur batu tadi disertakan kepada mayatnya bermacam-macam benda, alat-alat dan perhiasan, sebagai bekalnya (Soekmono, 1973:77-78).

    C.       Konsep Penguburan Dengan Kesenian Neolithik. 
    1.    KUBUR PETI BATU
    Soejono (2008:257) menyatakan “Kubur peti batu adalah kubur berupa sebuah peti yang dibentuk dari enam buah papan batu, sebuah penutup peti”. Papan-papan batu tersebut disusun secara langsung dalam lubang yang telah disisipkan terlebih dahulu. Peti kubur sebagian membujur dengan arah timur barat.
    Di Sumatra Selatan, temuan peti kubur batu paling penting terdapat di Tegurwangi, sebuah daerah yang memang kaya akan peninggalan megalitik, seperti dolmen, menhir, dan patung-patung. Soejono (2008:257) menyatakan “selain Hoop, penelitian tentang kubur batu di daerah Sumatra Selatan juga dilakukan oleh C.C. Batenburg dan C.W.P. de Bie”. Hoop sendiri telah menggali salah sebuah peti yang berada di Tegurwangi, yang dianggap paling besar diantara peti-peti lainnya. Ia berhasil menemukan benda-benda penting yang dianggap sebagai bukti peninggalan dari pendukung tradisi peti kubur batu. Soejono (2008:258) menyatakan “Permukaan atas tutup peti kubur batu ini berada 25 cm di bawah muka tanah, dan tutupnya terdiri dari beberapa papan batu”. Sela-sela antara batu penutup dan antara penutup dengan peti tersebut diisi dengan batu-batu kecil. Diantara papan-papan batu penutup, yang paling besar berukuran panjang 2,5. Menurut Soejono ukuran bagian dalam peti ialah 2,35 x 1,37 m dengan tinggi 1,30 m. Sisa-sisa tulang tidak terdapat dalam peti ialah peti yang penuh tanah dan pasir. Lapisan tanah setebal 20 cm dari alas peti terdapat temuan-temuan sebagai berikut: empat butir manik-manik merah berbentuk silindris, sebuah menik-manik berwarna hijau transparan berbentuk heksagonal tangkup, sebuah manik-manik berwarna kuning keabuan , dua ujung tumpal, dan sebuah fragmen perunggu.
    Selain itu masih ditemukan manik-manik berbagai dalam berbagai bentuk sebanyak 63 buah. Di dalam peti kubur batu lainnya yang pernah dibuka oleh baterburg ditemukan beberapa manik-manik berwarna kuning dan sebuah mata tombak dari besi yang telah sangat berkarat.
    Didalam peti batu yang pernah dibuka oleh Bie, terdapat sebuah lempengan perunggu berbentuk segi empat yang menggembung dibagian tengah. Selanjutnya Bie menemukan peti kubur batu rangkap di Tanjungara, yang terdiri dari dua ruang sejajar brdampingan, yang dipisahkan oleh dinding yang dilukis oleh warna hitam, putih, merah, kuning, dan kelabu. Lukisan ini menggambarkan manusia dan binatang yang distilir, antara lain tampak gambar sebuah tangan dengan tiga jari, kepala kerbau dengan tanduknya, dan mata kerbau yang digambarkan sebuah bulatan.penggambaran kebau dan manusia dengan lambing-lambangnya mempunyai hubungan dengan konsepsi pemujaan nenek moyang (soejono, 2008:258).

    BAB III
    PENUTUP
    A.  Kesimpulan
    Dari pemaparan di atas dapat kita simpulkan bahwa konsep dari tradisi penguburan akan sedikit demi sedikit berubah tergantung dari unsur pengetahuan manusianya. Jika ada hal yang menarik, masyarakat akan mempelajarinya dan mulai menerapkan dalam kehidupannya sehari-hari.
    Selain dari unsur pengetahuannya, unsur religi juga turut menjadi pengaruh munculnya konsep penguburan pada masa Neolithik. Masyarakat bercocok tanam mempunyai ciri khas yang sesuai perkembangan penemuan-penemuan barunya, di masa ini timbul anggapan bahwa tanah merupakan unsur penting bagi kehidupan dan memeanfaatkan kegunaan tanah.
    Adapun data kubur dari suatu system social secara keseluruhan dapat dianggap mewakili suatu kelompok social tertentu. Adapun unsur darii suatu situs kubur antara lain: bentuk dan sususunan kubur, kerangka manusia, posisi, arah hadap kerangka anusia, benda bekal kubur, usia, jenis kelamin, dan lain-lain .
    Lalu dolmen adalah meja batu tempat meletakkan sesaji yang dipersembahkan kepada roh nenek moyang. Di bawah dolmen biasanya sering ditemukan kubur batu. Sedangkan kubur peti batu adalah Kubur peti batu adalah kubur berupa sebuah peti yang dibentuk dari enam buah papan batu, sebuah penutup peti. Papan-papan batu tersebut disusun secara langsung dalam lubang yang telah disisipkan terlebih dahulu. Peti kubur sebagian membujur dengan arah timur barat.

    B.  Kritik dan Saran
    Demikian hasil makalah yang kami paparkan, apabila ada kekurangan atau kelebihan dalam pemaparan tersebut kami mohon maaf. Kritik dan saran sangat kami harapkan dan semoga hasil makalah yang telah kami kerjakan bisa bermanfaat

    C.  Glosarium
    1.      Menhir: rupanya seperti tiaang atau tugu, yang didirikan sebagai tanda peringatan dan melambangkan arwah nenek moyang, sehingga menjadi benda pujaan
    2.      Dolmen: rupanya seperti meja batu berkakikan menhir. Ada dolmen yang menjadi tempat saji dan pemujaan kepada nenek moyang, ada pula yang di bawahnya terdapat kuran.
    3.      Sarcophagus atau keranda: bentuknya seperti palung atau lesung, tetapi mempunyai tutup.
    4.      Kubur batu: sebenarnya tak berada dengan peti mayat dari batu. Keempat sisinya berdindingkan papan-papan batu, begitupula alas dan bidang atasnya dari papan batu.
    5.      Punden berundak-undak: bangunan pemujaan yang tersusun bertingkat –tingkat (dilihat dari samping berupa tangga; lih. Gb. 42). Arca-arca diantaranya ada yang mungkin melambangkan nenek moyang dan menjadi pujaan.

    DAFTAR RUJUKAN

    Aziz, F. A. 1986. Pertemuan Ilmiah Arkeologi IV. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

    Soekmono. 1937. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia Jilid 1. Yogyakarta: Kanisius

    Soejono. 2008. Sejarah Nasional Indonesia Jilid 1. Jakarta: Balai Pustaka.
    Wikipedia. 2013. Dolmen. (Online),(www.http://id.wikipedia.org/wiki/Dolmen.com) diakses 22 oktober 2013