gambar-gambar berikut ini bisa anda tambahkan kedalam makalah terutama dalam
makalah BUDAYA
PENGUBURAN PADA MASA NEOLITHIKUM
di NUSANTARA
buah keranda batu berisi kerangka manusia
Kubur dolmen (reti dalam bahasa lokal) yang terletak di Sumba Timur NTT
Dolmen sebuah kubur di Sumba Timur, NTT
kubur
dolmen dalam perkampungan dari sumba timur
BUDAYA PENGUBURAN PADA MASA NEOLITHIKUM di NUSANTARA
DAFTAR
ISI
DAFTAR
ISI........................................................................................................ i
DAFTAR
ISI........................................................................................................ ii
BAB
I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang……………………………………………………..1
B. Rumusan
Masalah.............................................................................2
C. Tujuan
Penulisan…………………………………………………...2
BAB II
PEMBAHSAN
A. Memahami Konsep Munculnya Penguburan Pada Masa Neolithik.3
B. Hubungan Penguburan dengan System Organisasi Social pada
masa
Neolitikum. ............................................................................ 6
C. Konsep Penguburan dengan Kesenian Neolithik……………………..7
.
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan………………………………………………………...11
B. Kritik
dan Saran……………………………………………………11
C. Glosarium…………………………………………………………..12
DAFTAR RUJUKAN…………………………………………………………....13
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Banyak dan beraneka
ragam budaya di Nusantara ini. Mulai dari zaman nenek moyang hingga masa kini.
Salah satu budaya pada zaman nenek moyang kita adalah penguburan. Penguburan
merupakan salah satu kegiatan manusia dalam rangka memindahkan mayat dari
lingkungan orang yang masih hidup, dan pelaksanaannya dilakukan secara berpola
sesuai dengan pranata kelakuan tertentu, diakui serta bersumber pada masyarakat
pendukungnya.
Sejak
munculnya zaman logam, bukan berarti telah berakhirnya zaman batu. Pada zaman
logam orang masih terus menggunakan batu sebagai bahan. Memang Megalithikum itu
akarnya terdapat dalam zaman Neolithikum,
teteapi baru berkembang betul dalam zaman logam. Kenyataanya di tempat-tempat
penemuan hasil megalithikum
(lebih-lebih dalam kuburan –kuburan zaman itu) banyak sekali didapatkan
manik-manik dan alat-alat dari perunggu, bahkan adakalanya pula alat-alat dari
perunggu, bahkan alat-alat dari besi. Maka dari itu meghalitikum Indonesia
biasa dimasukkan kebudayaan Dongson sebagai slah satu dari cabangnya
(Soekmono,1973:72).
Jadi pada zaman nenek moyang kita, mereka
sudah mengenal system penguburan salah satunya pada masa Neolithikum tadi. Maka dari itulah dalam makalah ini akan kita
bahas tentang budaya penguburan pada masa Neolithikum
yang didalamnya memuat beberapa bagian dari 7 unsur kebudayaan, yang
berhubungan dengan budaya penguburan. Misalnya seperti religi, ilmu pengetahuan,
organisasi sosial dan kesenian dalam budaya penguburan tersebut.
Dikalangan mahasisiwa sejarah, zaman Neolitikhum bukanlah hal yang asing.
Namun kalau budaya penguburan pada masa Neolithikum
ini, tentu hal yang cukup menarik karena sampai saat ini jarang ditemui mahasiswa
yang membuat makalah budaya penguburan pada masa Neolithikum. Untuk itu, dalam tugas mata kuliah kali ini kami
tertarik untuk memfokuskan pembahasan pada “budaya
penguburan pada masa neolitikhum”
A. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas
ditarik beberapa rumusan masalah, sebgai berikut:
1.
Bagaimana konsep munclnya penguburan
pada masa neolithik?
2.
Bagaimana hubungan penguburan denga
system organisasi social pada masa neolithik?
3.
Bagaimana konsep penguburan dengan
kesenian neolithik?
B. Tujuan
Tujuan dari
penulisan makalah ini yaitu:
1.
Memahami konsep munclnya penguburan pada
masa neolithik.
2.
Memahamami hubungan penguburan denga
system organisasi social pada masa neolithik.
3.
Memahami konsep penguburan dengan
kesenian neolithik.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Memahami Konsep Munculnya
Penguburan Pada Masa Neolithik.
1. Pengetahuan
Seperti yang kita ketahui, terdapat
tujuh unsur kebudayaan yang telah melekat pada diri masyarakat Indonesia sejak
zaman sebelum masyarakat mengenal tulisan. Tujuh unsur kebudayaan tersebut
diantaranya adalah bahasa, kesenian, kepercayaan, pengetahuan, system
kemasyarakatan, teknologi dan peralatan, serta organisasi sosial. Jika
dihubungkan dengan konsep penguburan dalam masyarakat Neolitikum dan
Megalitikum, yang paling berkaitan erat adalah unsure pengetahuan. Karena
setiap manusia pada dasarnya diciptakan dengan memiliki akal pikiran yang
nantinya akan berkembang menjadi pengetahuan seiring dengan manusia tersebut
menjalani kehidupannya.
Pada zaman tersebut, tradisi
penguburan dilakukan dengan berbagai macam cara. Soejono (2008:449) menjelaskan
bahwa “penguburan masih dilakukan dengan langsung maupun tidak langsung,
menggunakan wadah atau tanpa wadah”. Artinya manusia yang telah mati tersebut
ada yang dikuburkan langsung ke dalam tanah, ada yang dikuburkan dengan
menggunakan peti kubur dari batu maupun kayu, adapula yang diletakkan saja
dalam posisi membujur atau terlipat (Soejono,2008:449).
Pengetahuan manusia selalu bertambah
seiring dengan berjalannya waktu. Manusia yang selalu memiliki rasa ingin tahu
dan ingin selalu mengembangkan wawasannya.
2.
Dari segi unsur religi
Selain dari unsur pengetahuannya,
unsur religi juga turut menjadi pengaruh munculnya konsep penguburan pada masa
Neolithik. Masyarakat bercocok tanam mempunyai ciri khas yang sesuai
perkembangan penemuan-penemuan barunya, di masa ini timbul anggapan bahwa tanah
merupakan unsur penting bagi kehidupan dan memeanfaatkan kegunaan tanah. Salah
satu segi yang menonjol dalam masyarakat ini adalah sikap terhadap alam
kehidupan sesudah mati. Kepercayaan bahwa roh nenek moyang tidak lenyap
melainkan dianggap mempunyai kehidupan di alamnya tersendiri sesudah orang
meninggal (Soejono, 2008:247).
Upacara yang paling mencolok adalah
upacara penguburan, terutama bagi mereka yag dianggap penting atau terkemuka
oleh masyarakat dan penguburan itu dilakukan dengan cara langsung maupun tidak langsung di tempat yang sering dianggap
sebagai tempat roh nenek moyang. Soejono (2008:247) menyatakan bahwa “si mati
biasanya akan dikubure bersamaan dengan perhiasan dan periuk yang dikubur sebagai
bekal agar perjalanan si mati ke dunia arwah kehidupan selajutnya terjamin,
jika tempat tersebut terlalu jauh atau sukar dicapai, dan si mati dikuburkan di
suatu tempat dengan meletakkan mayat
yang di arahkan menghadap ke suatu tempat yang dimaksud”.
Tujuan dari itu adalah agar si mati
tidak tersesat dalam perjalanannya menuju tempat roh nenek moyang. Kematian
dipandang tidak mengubah kedudukan social seseorang. Biasanya hanya orang-orang
tertentu yang dianggap terkemuka oleh masyarakat yang bias mencapai alam khusus
di alam baka, akan tetapi jasa dan amal kebaikan untuk mendapat tempat khusus
di dunia akhirat dapat diperoleh dengan mengadakan pesta-pesta tertentu yang
mencapai pada puncaknya dengan mendirikan bangunan batu besar. Batu besar ini
menjadi symbol perlindungan bagi manusia-manusia yang berbudi baik.
Menempatkan si mati pada batu-batu
besar, seperti bilik batu, sarkofagus baik
itu dilukis maupun di ukir dengan berbagai lambing kehidupan dan kematian, itu
dianggap merupakan sebagai tindakan yang saling menguntungkan bagi si mati dan
orang-orang yang ditinggalakan (Soejono, 2008:248).
Soejono (2998:248) juga mengatakan
bahwa “gagasan hidup di akhirat berisi: keistimewaan yang belum atau yang sudah
didapatkan di dunia fana, hanya akan dapat dicapai di dunia akhirat berdasarkan
perbuatan-perbuatan dan amal yang dilakukan
selam hidup manusia, ditambah dengan besarnya upacara kematian yang
pernah diselenggarakan”.
Bangunan besar banyak sekali terdapat di kepulauan
Indonesia, dan bermacam-macam bentuknya, ada yang berdiri sendiri dan ada yang
berkelompok. Dan sudah dijelaskan di atas bahwa maksud dari bangunan besar ini
tidak luput dari latar belakang pemujaan pada nenek moyang serta pengharapan
akan kesejahteraan bagi si mati. Dan banguna yang paling tua itu mungkin
digunsksn sebagai penguburandengan bentuk yang beraneka ragam, dapat berupa dolmen, peti kubur batu, bilik batu,
sarkofagus, kalamba atau bejana batu,
waruga, batu kandang, dan tamu gelang.
B. Hubungan penguburan dengan system
organisasi social pada masa neolithik.
Data kubur dari suatu system social
secara keseluruhan dapat dianggap mewakili suatu kelompok social tertentu.
Adapun unsur darii suatu situs kubur antara lain: bentuk dan sususunan kubur,
kerangka manusia, posisi, arah hadap kerangka anusia, benda bekal kubur, usia,
jenis kelamin, dan lain-lain (Aziz, 1986:57).
Miasalnya seorang kepala suku,
biasanya dia dikubur di bawah punden berundak dan di atasnya punden berundak
tadi didirikan menhir. Untuk arah
hadap, menghadap kea rah gunung, dan untuk bekal kubur misalnya Soejono (2008:258)
mengatakan “di Sumatra Selatan di Tegurwangi ditemukan peti kubur yang
didalamnya ditemukan beberapa manik-manik berwarna kiuning adan sebuah mata
tombak dari besi yang sudah berkarat, yang pernah dibuka oleh Baterburg”.
Masyarakat memilih dari salah satu
anggotanya yang kuat lahir dan batinnya, mempunyai keunggulan lebih di atas
sesame anggotanya, untuk menjadi pemimpin dan pelindungnya, orang inilah yang
disebut sebagai kepala suku. Soekmono (1973:76) mengatakan sebagai berikut.
Dalam
antropologi budaya ada istilah potlatch, yang
artinya adalah kebiasaan memberi sebanyak mungkin. Pemberian ini dilakukan
timbal balik, sehingga seakan-akan ada saingan untuk saling memberi. Kenyataan
bahwa memberi itu emang lebih utaa daripada menerima, di dalam kebiasaan itu
diartikan bahwa si pemberi itu lebih tinggi kedudukannya daripada si penerima.
Kebalikannyapun tidak dapat diabaikan, yaitu bahwa orang yang tinggi kedudukannya
harus menunjukkan kelebihannya, harus memberi sebanyak mungkin kepada mereka
yang lebih rendah.
Seorang kepala suku itu harus menunjukkan
kelebihannya di atas masyarakatnya.hal itu ditunjukkan mealui pemberian yang
berlebih-lebih. Dan sebagai tanda jasanya dengan bantuan rakyatnya berhak
mendirikan sebebuah menhir. Inilah
makna menhir pada mulanya. Setelah
kepala suku tadi meninggal, menhir tadi
yang merupakan lambing dari jasanya menjadi lambing dari dirinya. Kenangan dan
penghargaan jasa tadi beralih menjadi pemujaan terhadap dirinya yang tetap
dianggap sebagai pelindung yang kemudian diperingati dengan upacara-upacra
tyertentu. Jika untuk rohnya didirikan sebuah menhir makan untuk raganya
dibangunkan berbagai macam kuburan: keranda,
kubur batu, pandhusa (sarkofagus jika pada masa itu),dan kecuali jasa yang
dibawa ke akhirat, maka dalam kubur batu tadi disertakan kepada mayatnya
bermacam-macam benda, alat-alat dan perhiasan, sebagai bekalnya (Soekmono,
1973:77-78).
C. Konsep Penguburan Dengan Kesenian
Neolithik.
1. KUBUR PETI BATU
Soejono (2008:257) menyatakan “Kubur
peti batu adalah kubur berupa sebuah peti yang dibentuk dari enam buah papan
batu, sebuah penutup peti”. Papan-papan batu tersebut disusun secara langsung
dalam lubang yang telah disisipkan terlebih dahulu. Peti kubur sebagian membujur
dengan arah timur barat.
Di Sumatra Selatan,
temuan peti kubur batu paling penting terdapat di Tegurwangi, sebuah daerah
yang memang kaya akan peninggalan megalitik,
seperti dolmen, menhir, dan patung-patung. Soejono (2008:257) menyatakan “selain
Hoop, penelitian tentang kubur batu di daerah Sumatra Selatan juga dilakukan
oleh C.C. Batenburg dan C.W.P. de Bie”. Hoop sendiri telah menggali salah
sebuah peti yang berada di Tegurwangi, yang dianggap paling besar diantara
peti-peti lainnya. Ia berhasil menemukan benda-benda penting yang dianggap
sebagai bukti peninggalan dari pendukung tradisi peti kubur batu. Soejono
(2008:258) menyatakan “Permukaan atas tutup peti kubur batu ini berada 25 cm di
bawah muka tanah, dan tutupnya terdiri dari beberapa papan batu”. Sela-sela
antara batu penutup dan antara penutup dengan peti tersebut diisi dengan
batu-batu kecil. Diantara papan-papan batu penutup, yang paling besar berukuran
panjang 2,5. Menurut Soejono ukuran bagian dalam peti ialah 2,35 x 1,37 m
dengan tinggi 1,30 m. Sisa-sisa tulang tidak terdapat dalam peti ialah peti
yang penuh tanah dan pasir. Lapisan tanah setebal 20 cm dari alas peti terdapat
temuan-temuan sebagai berikut: empat butir manik-manik merah berbentuk
silindris, sebuah menik-manik berwarna hijau transparan berbentuk heksagonal
tangkup, sebuah manik-manik berwarna kuning keabuan , dua ujung tumpal, dan
sebuah fragmen perunggu.
Selain itu masih ditemukan manik-manik
berbagai dalam berbagai bentuk sebanyak 63 buah. Di dalam peti kubur batu lainnya
yang pernah dibuka oleh baterburg ditemukan beberapa manik-manik berwarna
kuning dan sebuah mata tombak dari besi yang telah sangat berkarat.
Didalam peti batu yang pernah dibuka
oleh Bie, terdapat sebuah lempengan perunggu berbentuk segi empat yang
menggembung dibagian tengah. Selanjutnya Bie menemukan peti kubur batu rangkap
di Tanjungara, yang terdiri dari dua ruang sejajar brdampingan, yang dipisahkan
oleh dinding yang dilukis oleh warna hitam, putih, merah, kuning, dan kelabu.
Lukisan ini menggambarkan manusia dan binatang yang distilir, antara lain
tampak gambar sebuah tangan dengan tiga jari, kepala kerbau dengan tanduknya,
dan mata kerbau yang digambarkan sebuah bulatan.penggambaran kebau dan manusia
dengan lambing-lambangnya mempunyai hubungan dengan konsepsi pemujaan nenek
moyang (soejono, 2008:258).
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
pemaparan di atas dapat kita simpulkan bahwa konsep dari tradisi
penguburan akan sedikit demi sedikit berubah tergantung dari unsur pengetahuan
manusianya. Jika ada hal yang menarik, masyarakat akan mempelajarinya dan mulai
menerapkan dalam kehidupannya sehari-hari.
Selain
dari unsur pengetahuannya, unsur religi juga turut menjadi pengaruh munculnya
konsep penguburan pada masa Neolithik. Masyarakat bercocok tanam mempunyai ciri
khas yang sesuai perkembangan penemuan-penemuan barunya, di masa ini timbul
anggapan bahwa tanah merupakan unsur penting bagi kehidupan dan memeanfaatkan
kegunaan tanah.
Adapun data kubur dari suatu
system social secara keseluruhan dapat dianggap mewakili suatu kelompok social
tertentu. Adapun unsur darii suatu situs kubur antara lain: bentuk dan
sususunan kubur, kerangka manusia, posisi, arah hadap kerangka anusia, benda
bekal kubur, usia, jenis kelamin, dan lain-lain .
Lalu
dolmen adalah meja batu tempat meletakkan sesaji yang dipersembahkan
kepada roh nenek moyang. Di bawah dolmen biasanya sering ditemukan kubur batu.
Sedangkan kubur peti batu adalah Kubur peti batu adalah
kubur berupa sebuah peti yang dibentuk dari enam buah papan batu, sebuah
penutup peti. Papan-papan batu tersebut disusun secara langsung dalam lubang
yang telah disisipkan terlebih dahulu. Peti kubur sebagian membujur dengan arah
timur barat.
B. Kritik dan Saran
Demikian
hasil makalah yang kami paparkan, apabila ada kekurangan atau kelebihan dalam
pemaparan tersebut kami mohon maaf. Kritik dan saran sangat kami harapkan dan
semoga hasil makalah yang telah kami kerjakan bisa bermanfaat
C. Glosarium
1.
Menhir:
rupanya seperti tiaang atau tugu, yang didirikan sebagai tanda peringatan dan
melambangkan arwah nenek moyang, sehingga menjadi benda pujaan
2.
Dolmen:
rupanya
seperti meja batu berkakikan menhir. Ada dolmen yang menjadi tempat saji dan
pemujaan kepada nenek moyang, ada pula yang di bawahnya terdapat kuran.
3.
Sarcophagus atau keranda: bentuknya
seperti palung atau lesung, tetapi mempunyai tutup.
4.
Kubur batu: sebenarnya tak berada dengan
peti mayat dari batu. Keempat sisinya berdindingkan papan-papan batu,
begitupula alas dan bidang atasnya dari papan batu.
5.
Punden berundak-undak: bangunan pemujaan
yang tersusun bertingkat –tingkat (dilihat dari samping berupa tangga; lih. Gb.
42). Arca-arca diantaranya ada yang
mungkin melambangkan nenek moyang dan menjadi pujaan.
DAFTAR
RUJUKAN
Aziz,
F. A. 1986. Pertemuan Ilmiah Arkeologi IV.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Pusat Penelitian Arkeologi
Nasional
Soekmono.
1937. Pengantar Sejarah Kebudayaan
Indonesia Jilid 1. Yogyakarta: Kanisius
Soejono.
2008. Sejarah Nasional Indonesia Jilid
1. Jakarta: Balai Pustaka.
Wikipedia. 2013. Dolmen. (Online),(www.http://id.wikipedia.org/wiki/Dolmen.com)
diakses 22 oktober 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar